Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Diskriminasi dan Kesetaraan Gender Bagi Perempuan
Diskriminasi dan Kesetaraan
Gender Bagi Perempuan
Diskriminasi perempuan bisa berasal
dari tatanan terkecil masyarakat yaitu keluarga. Ketika di dalam keluarga
seorang ibu harus serba mengalah dari sang ayah juga dapat disebut sebagai
diskriminasi. Misalnya istri tidak boleh bekerja hanya menurut saja pada suami
sementara istri harus membantu keluarganya yang masih kesulitan ekonomi, disini
lah perang bathin istri mulai berkecamuk. Belum lagi urusan dalam rumah tangga
dalam hal mengurus rumah, mengurus anak, semuanya tentu akan diserahkan kepada
istri padahal peran suami di dalam keluarga juga sangat dibutuhkan. Suami bukan
hanya diberi tanggung jawab untuk mencari nafkah tapi juga mendidik anak-anak
sangat memerlukan peran suami.
Dilema
ibu bekerja adalah dia harus mengurus pekerjaan domestic rumah tangganya,
mengurus keperluan suaminya, mengurus anaknya (bukan hanya memandikan, menyuapi
makan, tapi juga mengajarinya pelajaran sekolah) dan juga mengurusi pekerjaannya sendiri.
Sementara suami hanya
mengurusi pekerjaan kantornya saja.
Kesetaraan gender diinginkan kaum
ibu mungkin karena dia merasa beban yang dia rasa terlalu berat. Sementara sang
suami tidak bisa memahami kondisinya. Seakan sang suami merasa hal yang lumrah
bahwa pekerjaan memasak, mencuci baju, mencuci piring, mengurus anak,
memandikan, menyuapi, mengajarinya, menyapu rumah, mengepel lantai, membuang
sampah, menyikat wc semua adalah tugas istri.
Ditambah lagi ketika sang
suami membandingkan istrinya dengan ibunya yang kondisinya tidak sama lagi
seperti kehidupan sekarang. Dulu ibu bisa melakukan semuanya tanpa bantuan
ayah, padahal anaknya banyak. Sementara kamu baru punya anak satu sudah
kelabakan dan menangis tak bisa menyelesaikan semuanya, padahal kehidupan jaman
dulu lebih susah.
Hal semacam ini tentu akan
menjadi boomerang di dalam rumah tangga dan bisa memicu matinya rasa cinta.
Istri akan merasa didiskriminasi oleh
keadaannya yang terjepit. Semua serba salah. Ketika istri ingin bekerja namun
suami tidak menyetujui padahal kebutuhan ekonomi sangat sulit, ketika istri
tidak bekerja ia menjadi bahan cemo’ohan, “jadi istrinya gak kerja ya, ngapain
aja dirumah” dan ketika istri bekerja pun akan mendapat cacian, “kasian ya
anaknya gak keurus, ibunya kerja terus” belum lagi dari suaminya yang ketika
ada ketidak cocokan akan berkata, “sekarang sudah bisa ya melawan suami karena
sudah berpenghasilan sendiri” lalu sebagai istri harus bagaimana?
Ketika istri jatuh dalam
kondisi sulit serba salah seperti ini bukan tidak mungkin syndrome baby blues
akan muncul walaupun anak-anak sudah tumbuh besar.
Kondisi sulit yang dialami sang istri
bisa membuatnya merasa terdiskriminasi oleh keadaan yang ada. Dia dituntut
untuk menjadi ibu yang sempurna, anak-anak tidak boleh sakit dan cidera jika hal
itu terjadi ibulah yang salah. Jika suami berselingkuh, istrilah yang salah
karena tidak pandai menjaga hati suaminya dan tidak bisa mempercantik diri. Jika
anak kurang cerdas dalam hal akademis istrilah yang salah karena istri tak
mengajarinya dirumah. Jika rumah kotor istrilah yang salah karena tidak
membersihkannya. Jika masakan tidak enak istri jugalah yang salah karena tidak
pandai dalam memasak. Mejnadi seorang
istri sangatlah melelahkan apalagi ditambah dengan menjadi seorang ibu yang
mengurusi anak-anaknya. Kelelahan ini akan menjadi depresi jika semua hal dipusatkan
ke ibu. Bukan hanya depresi tapi juga diskriminasi terhadap kaum ibu.
Tidak heran jika mendengar
berita pernikahan sudah dijalankan sekian belas tahun, anak sudah besar-besar,
tiba tiba bercerai. Di dunia ini tidak ada yang tiba-tiba semuanya akan terjadi
berdasarkan urutan kejadian yang sudah dijalani setiap harinya. Semakin hari
pasangan kita akan berubah kepribadiannya. Perasaan tidak puas, ingin pasangan
tampil sempurna tapi lupa menyempurnakakn diri sendiri, ingin mendapatkan kasih
sayang tapi lupa bagaimana cara menyanyagi yang tulus, ingin dicintai tapi lupa
cara mencintai, selalu melihat kelebihan diri sementara kepada pasangan yang dilihat selalu kekurangannya, bukan tidak mungkin perpisahan menjadi kata yang siap kapanpun
akan meluncur seperti lava pijar gunung berapi.
Diskriminasi dan kesetaraan
gender yang digaungkan kaum perempuan diluar sana bisa saja berawal dari
rumahnya sendiri, dari keluarganya sendiri, dari pengalaman pribadi sendiri. Tapi
menurut hemat saya, kita tak perlu kesetaraan gender jika saja kaum pria
mengerti kedudukannya, bahwa ia harus menghormati kaum wanitanya, menjadikannya
tulang rusuk bukan tulang kaki.
Maghrib, Pekanbaru, 11 Agustus 2021
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Psikologi sosial: Mengenal Teori Atribusi
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
COCD: Kolaborasi Pekerja Sosial
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar