1. Latar Belakang
Teori atribusi merupakan teori yang mempelajari tentang perilaku seseorang
dan mengetahui mengapa seseorang berperilaku demikian. Di dalam teori atribusi
dijabarkan mengenai pembagiannya yaitu atribusi internal dan atribusi
eksternal. Dalam perilaku manusia dipengaruhi oleh dua aspek yaitu aspek
lingkungan dan dirinya sendiri. Karenanya dalam menganalisis dan memberikan
deskripsi tentang perilaku seseorang kita harus melihatnya dari dua aspek
tersebut. Kesalahan dalam teori atribusi adalah penilaian yang cenderung
subjektivitas dan menekankan pada satu objek saja. Pembahasan lebih rinci telah
penulis jabarkan dalam bab pembahasan.
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian atribusi
b. Teori Atribusi Menurut Kelley
c. Atribusi Kausalitas
d. Atribusi Kejujuran
e. Atribusi Dalam Hubungan Interpersonal
f. Atribusi terhadap Orang lain
g. Kesalahan Teori Atribusi
PEMBAHASAN
3. Pengertian Atribusi
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain itu berperilaku
tertentu. Menurut Myers, kecenderungan memberi atribusi disebabkan oleh
kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang ada
dibalik perilaku orang lain.
Menurut Baron dan Byrne, atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud,
dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilaku yang tampak.
Kelley mendefinisikan atribusi sebagai proses mempersepsikan sifat-sifat
disposisional (yang sudah ada) pada satuan-satuan (entities) di dalam
suatu lingkungan (environment).
Pembuatan teori atribusi dimulai oleh Fritz heider pada tahun 1958. Ia
merasa tertarik tentang cara orang menggambarkan dalam angan-anagan apa yang
mengakibatkan seseatu dalam kehidupan sehari-hari. Heider mengemukakan dua
motif kuat dalam diri semua manusia yak ni kebutuhan membentuk pengertian
mengenai alam raya yang terpadu dan kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan.
Salah satu pokok untuk memenuhi kedua motif itu adalah kemampauan untuk
meramalkan bagaimana manusia akan berperilaku, maka kita akan memandang dunia
secara acak, memberikan kejutan dan tidak terpadu. Kita tidak tahu apakah kita
harus mampu meramalkan perilaku orang lain agar dapat memperoleh tingkat
kendali yang memuaskan atas lingkungan kita.
Untuk dapat meramalakan bagaimana orang lain akan berperilaku, kita harus
mempunyai sedikit teori dasar mengenai perilaku manusia. Menurut heider setiap
orang (bukan hanya para psikolog saja) mencari penjelasan tentang perilaku
orang lain, yang ia namakan psikologi naïf, yaitu teori umum mengenai perilaku
yang dianut oleh setiap orang awam.
Dalam bukunya The Psychology of Interpersonal Relations yang dikutip
Littlejohn, bahwa menurut psikologi naïf masyarakat memiliki suatu kesadaran
yang melingkupinya dan dialaminya dalam setiap peristiwa (lingkup
pengalaman/life space) mereka percaya kesadaran sebagai persepsi dan
proses-proses lain. Mereka dipengaruhi oleh pribadi mereka dan lingkungan
pribadinya yang menyebabkan mereka dapat mencoba dan menimbulkan perubahan
itu, berharap dan merasakan, mereka berada pada satuan-satuan dengan
keberadaan orang lain, mereka memiliki standar yang pasti, semua karakteristik
menetapkan peran apa yang dimainkan orang lain dalam lingkup pengalaman yang
kita miliki dan bagaimana kita menerapkanya.[1]
Dalam menerapkan teori atribusi, kita dapat mengetahui tentang orang-orang
disekitar kita melalui beberapa macam yaitu:
1. Dengan melihat apa yang diperlihatkan
seseorang secara fisik, seperti cara berpakaian, cara penampilan diri.
2. Langsung menyatakan pada yang
bersangkutan, misalnya tentang pemikirannya tentang motivnya.
3. Dari perilaku orang yang bersagkutan,
misalnya over actions karena hal ini merupakan sumber yang penting dari yang
bersangkutan.
Disamping itu perilaku sering bersumber pada keadaan eksternal individu
yang bersangkutan, tidak dari sifat atau disposisinya. Misalnya seorang calon
dalam pemilu mencium anak yang digendong ibunya dan menyalami orang yang
disekitarnya. Apakah orang ini secara internal merupakan orang yang ramah, atau
karena factor lain yaitu agar semakin banyak orang memilih dirinya.
Dengan demikian timbul pertanyaan apakah perilaku yang didasarkan atas
sifat internal atau karena perilaku eksternal yang bersifat temporer (misalnya
karena ada pemilihan). Untuk lebih mudah menentukan apakah suatu perilaku
individu disebabkan oleh factor eksternal atau internal, teori correspondent
inference memberikan langkah-langkah memusatkan perhatian pada perilaku yang
dapat memberikan informasi yaitu:
1. Pada perilaku yang dipilih individu yang
bersangkutan dan perilaku yang lain dikesampingkan.
2. Pada perilaku yang menimbulkan keunikan
merupakan efek yang tidak dihasilkan oleh orang lain.
3. Memusatkan pada perilaku yang social desirabilitynya
rendah. [2]
4. Teori Atribusi Menurut Kelley
Menurut Kelley teori atribusi ini mempunyai tiga asumsi dasar:
1.
Orang-orang coba memastikan sebab-sebab dari perilaku, ketika hal itu
meragukan, mereka mencari informasi yang dapat menjawab pertanyaan mereka,
mengapa dia melakukan itu. Kelley mengatakan dalam berinteraksi seperti yang
mereka lakukan dia menanyakan tentang atribusi perilaku orang lain, apa yang
menyebabkan perilaku tersebut, apa tanggung jawab dari perilaku tersebut dan untuk
apa perilaku tersebut diatribusikan.
2.
Orang menunjukkan sebab-sebab secara teratur /sistematis. Kelley
menerangkan dalam metode ilmiah: seorang atributir secara umum biasanya
bertindak seperti ilmuwan yang baik, pengujiannya bervariasi antara pemberian
pengaruh dan sebab-sebab yang mungkin terjadi.
3.
Atribusi ini telah mempengaruhi pemahaman perasaan yang dimiliki dan
mempengaruhi perilakunya. Komunikator memberikan arti penting bagi atribusi.[3]
Menurut Kelley ada empat kriteria yang menyebabkan orang lebih cenderung
kepada atribusi eksternal daripada atribusi internal. Distinctiveness yaitu
bagaimana seseorang bereaksi terhadap stimulus atau situasi yang berbeda. Bila
seseorang memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus yang berbeda maka dapat
dikatakan orang yang bersangkutan memiliki distinksi yang rendah.
a. Distinksi dalam contoh misalnya X menyukai
film dua dunia tetapi kurang menyukai acara TV yang lain
b. Konsistensi dalam waktu, X akan
menyukai acara itu kalau ia menontonnya dilain waktu
c. Konsistensi dalam acara, X akan tetap
menyukai acara itu kalau ia meonontonnya di rumahnya, di rumah teman, menonton
dalam TV hitam putih meskipun ada yang berwarna.
d. Konsesnsus, ternyata bukan X saja ynag
menyukai acara itu tetapi orang lain juga menyukai acaranya.
Kalau ke empat syarat ini terpenuhi maka terjadilah atribusi
eksternal. Tapi jika tidak maka kesenangan menonton film tersebut dinyatakan
sebagai akibat dari keadaan diri X sendiri.[4]
Ada dua golongan yang menjelaskan suatu perilaku, yaitu berasal dari orang
yang bersangkutan (atribusi internal) dan yang berasal dari lingkungan atau
luar diri orang yang bersangkutan (atribusi eksternal). Sebetulnya kedua
atribusi itu dapat terjadi sekaligus, tetapi menurut Heider, orang cenderung
memilih salah satu saja, atribusi internal atau atribusi eksternal. Misalnya,
kalau istri membuat kopi yang enak, suaminya akan memuji merk kopi yang
diminumnya (atribusi eksternal), tetapi kalau kopinya tidak enak, maka sang
suami akan mengatakan bahwa istrinya payah, tidak bisa membuat kopi (atribusi
internal).
5. Atribusi Kausalitas
Secara garis besar ada dua macam atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan
atribusi kejujuran. Fritz heider merupakan orang pertama yang menelaah tentang
atribusi kausalitas. Menurut heider bila kita mengamati perilaku social
pertama-tama kita menentukan dulu apa yang menyebabkannya, faktor situasional
atau personal, yang lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal.
a. Dimensi sebab akibat
1. Tempat sebab akibat
Masalah pokok yang paling umum dalam persepsi sebab akibat adalah
menentukan apakah suatu tindakan tertentu disebabkan keadaan intern atau
ekstern. Atribusi ekstern mencakup semua penyebab seseorang seperti: tekanan
orang lain, uang, sifat situasi social, cuaca, dan lain-lain.
2. Stabilitas dan instabilitas
Dimensi yang kedua yaitu apakah penyebabnya stabil atau tidak stabil.
Maksudnya, kita harus tahu apakah penyebab tersebut merupakan bagian menarik
yang relative permanen dari lingkungan ekstern atau pembawaanintern orang itu.
Dengan kata lain penyebab dapat terdiri atas berbagai kombinasi dari kedua
dimensi tersebut.[5]
3. Dimensi ketiga atribusi kausalitas
Yaitu kemampuan mengandalikan. Kita mengamati adanya beberapa kasus yang
dapat dikendalikan seorang individu, sedangkan lainnya diluar kemampuannya.
Contohnya penyebab intern yang tidak stabil seperti usaha, bisanya dipandang
sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan.
Bagaimana kita mengetahui bahwa perilaku orang lain disebabkan faktor internal
atau eksternal. Menurut jones dan nisbet untuk memahami bahwa perilaku itu
disebabkan faktor internal dengan memperhatikan sua hal: pertama kita
memfokuskan perhatian pada perilaku yang dimungkinkan oleh satu atau sedikit
penyebab, kedua, memusatkan perhatian pada perilaku yang menyimpang dari pola.
Melihat perilaku sesuai dengan konteksnya, misalnya dalam suatu ruangan
kelas kita dapat menduga perilaku berbagai mahasiswa seperti, menghadap ke
depan sambil tidur atau yang menghadap kebelakang semua perilaku ini mempunyai
kemungkinan penyebab yang berbeda. Menghadap ke depan sambil menulis adalah
yang paling umum terjadi, sedangkan mahasiswa yang menghadap kebelakang
merupakan pola yang menyimpang dari perilaku biasanya. Maka kita menyimpulkan
perilaku ini terjadi karena motif
perorangan.
Contoh lain apakah suatu perilaku disebabkan oleh faktor intern atau
ekstern adalah seorang mahasiswa yang gagal dalam suatu mata kuliah, kita ingin
mengetahui apakah hal tersebut disebabkan karena dia memang kurang cakap atau
karena kurang belajar (faktor intern) atau karena dosen yang memberikan
kuliahnya meragukan dan buku teks yang terlalu sulit atau ujian yang
berlangsung tidak adil. (faktor ekstern). [6]
Jadi yang menjadi masalah utama adalah apakah harus dibuat kesimpulan
intern atau ekstern terhadap perilaku pemberi stimulus. Pengambilan kesimpulan
ekstern menguraikan sebab akibat kepada segala sesuatu yang berada di luar
orang tersebut seperti lingkungan umum, orang yang diajak berinteraksi, peranan
yang dipaksakan, kemungkinan mendapatkan hadiah atau hukuman, dan lain
sebagainya. Menurut Kelley untuk sampai pada atribusi kauslaitas, manusia
menggunakan 3 jenis informasi:
a. Sasaran stimulus
b. Actor
c. Konteks
Sebagai contoh, suatu hari si A menonton pertunjukan lawak dan dia terpingkal-pingkal
atas lawakan tersebut. Dia menganggap bahwa pelawak itu adalah orang yang
paling lucu yang pernah ditemuinya. A mengajak kita menonton pertunjukkan
tersebut. Disini kita menghendaki atribusinya atas tertawa gelinya tersebut,
jia penyebabnya pelawak itu benar-benar lucu, maka kita boleh menuruti
nasehatnya untuk ikut menyaksikan pertunjukan tersebut. Perilaku A tersebut
mungkin disebabkan sesuatu yang istimewa atas stimulus (pelawak) kepada si
actor (si A) atau pada konteksnya (orang-orang yang berbeda bersamanya pada
waktu itu), atau dengan istilah lain disebut juga dengan:
a. Consensus (orang lain bertindak sama pada
waktu itu)
b. Konsistensi (apakah orang tersebut secara
konsisten beraksi sama di waktu lain)
c. Distinctive (apakah tindakan seseorang
sama pada situasi lain atau hanya pada situasi itu saja)
Bila ketiga hal tersebut berniali tinggi maka orang tersebut akan melakukan
atribusi kausalitas eksternal. Misalnya B bertengkar dengan seorang dosen,
begitu juga dengan mahasiswa lain (consensus tinggi) atau B tidak pernah
bertengkar dengan dosen lain (distingtiv kekhasan) kita dapat menyimpulkan
bahwa B bertengkar dengan dosen tersebut karena ulah dosen itu bukan karena
watak B.
Orang akan merasa percaya diri, cepat membuat keputusan dan mampu bertindak
dengan mantap jika ketiga hal tersebut di atas terpenuhi. Tetapi jika salah
satu atau beberapa hal tidak terpenuhi maka ia jadi tidak yakin dan ragu-ragu
dalam bertindak. Hal ini menyebabkan Kelley sampai pada teorinya Information
Levels- Tingkat informasi. Tingkat informasi ini menyangkut oengetahuan
seseorang dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Jadi
tingkat informasi seseorang itinggi maka orang akan mampu membuat atribusi
distinctive yang tidak berubah-ubah.
6. Atribusi Kejujuran
Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne kita dapat menyimpulkan bahwa
suatu personal stimuli itu jujur atau tidak dengan memperhatikan dua hal:
a. Sejauh mana pernyataan seseorang itu
menyimpang dari pendapat yang lazim diterima oleh orang lain.
b. Sejauh mana orang itu memperoleh
keuntungan dari kita dengan pernyataannya itu.
Makin besar jarak antara pendapat personal stimuli dengan pendapat umum,
makin percaya bahwa ia jujur dan kita akan kurang percaya jika kejujuran orang
yang mengeluarkan pernyataan yang menguntungkan dirinya. Kadang kita yakin pada
omongan salesman karena sesungguhnya ia mencari keuntungan.
7. Atribusi Dalam Hubungan Interpersonal
Menurut Harves, Ickes dan Kidd dalam news direction menyebutkan bahwa teori
atribusi member suatu perangkat yang baik untuk menguraikan dan menjelaskan
perbedaan jarak pada persepsi social. Hal ini sangat dikenal dalam psikoloi
social karena secara luas dapat diterapkan dalam berbagai fenomena social.
Proses atribusi sangat penting dalam komunikasi, dengan beberapa alasan
seperti yang ditulis Fisher dalam bukunya Interpersonal Communication:
Pragmatic of human relationship:
1. Manusia membutuhkan untuk membuat
penjelasan mengapa hal itu dapat terjadi. Hal ini dilakukan untuk menguriakan
ketidakpastian. Penjelasan singkat mengenai semua sebab akibat ketika kita
bertanya: “mengapa saya berbuat seperti itu?”.
2. Proses atribusi sangat penting dalam komunikasi
karena di dalamnya dengan seksama digambarkan gabungan antara kondisi psikologi
dan tingkah laku. Ada kepercayaan yang umum bahwa pada perilaku kita selalu
menggambarkan keadaan psikologi.
3. Pross atribusi sangat penting dalam
komunikasi karena menggambarkan hubungannya dengan hubungan interpersonal.
Atribusi ini dapat mempengaruhi hasil dari hubungan dan perkembangan hubungan
yang juga mempengaruhi atribusi. Hal tersebut penting karena tidak hanya
bagaimana proses atribusi dapat mempengaruhi komunikasi antar personal tetapi
juga atribusi dapat menunjukkan kualitas dari komunikasi.
8. Atribusi terhadap Orang lain
Prinsip-prinsip tersbeut di atas biasanya di pakai untuk mengatribusikan
perilaku ornag lain. Pernyataan yang pokok dalam hal ini adalah bila kita
menarik kesimpulan bahwa tindakan orang lain mencerminkan pembawaannya sendiri,
seperti cirri, sikap, keadaan hati, atau keadaan intern lainnya. Atau kita
menyimpulkan bahwa perilakunya sesuai dengan situasi ekstrenalnya. Hal tersebut
dapat kita lihat sesuai dengan faktor ektern yang mempengaruhinya.
Atribusi yang sering kita rasaka sering ditujukan kepad aorang lain. Kadang
kita bertindak seperti seorang psikolog yang ingin mengetahui mengapa orang
tersebut berperilaku demikian, motif apa yang melatar belakanginya, sehingga
dengan mengacu pada teori ini setidaknya kita dapat memahami orang lain
sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya kesalahpahaman,
pertikaian, yang mengganggu hubungan interpersonal dapat dihindarkan.[7]
9. Atribusi Terhadap Diri Sendiri
Salah satu hipotesis menarik dalam teori atribusi adalah bahwa orang sampai
pada persepsi keadaan intern mereka sendiri dengan cara yang sama jika mereka
sampai pada persepsi kepada orang lain. Hal ini berasal dari asumsi bahwa
emosi, sikap, cirri, dan kemampuan kita serigkali tidak jelas dan meragukan.
Kita harus menyimpulkannya dari perlaku terbuka kita dan persepsi kita tentag
lingkungan sekitar kita.
Pendekatan tersebut menyatakan bahwa dalam persepsi diri sendiri kita
mencari asosiasi sebab akibat akal. Jika kita sampai mempersepsikan dorongan
ekstern yang kuat, mendorong kita ke arah perilaku kita sendiri, maka kita akan
terdorong untuk sampai pada atribusi situasional. Jika tidak terdapat dorongan
ekstern yang jelas kita akan mengasumsikan bahwa atribusi mendorong diadakannya
riset tentang persepsi diri sendiri atas sikap, motivasi, dan emosi.
a. Sikap
Orang menilai sikap mereka melalui instropeksi yaitu dengan meninjau
kembali berbagai kognisi dan perasaan secara kasar. Jika kita mengamati
perilaku kita sendiri, dalam situasi dimana kita tidak ada paksaan dari orang
lain, maka kita akan mengasumskan bahwa kita hanya mengungkapkan sikap kita
yang sebenarnya. Jika terdapat tekanan ektern maka kita mempersepsikan
pernyataan itu disebabkan oleh faktor ekstern dengan kata lain kita belajar
berperilaku dalam lingkungan yang mempunyai tekanan ekstern dan bukan dengan
mengintropeksi perasaan kita.
b. Motivasi
Seseorang yang melakukan sesuatu demi mendapatkan penghargaan tinggi akan
menjurus pada atribusi eksternal. Melaksanakan tugas yang sama dengan
penghargaaan rendah cenderung pada atribusi internal. Sebenarnya saya tidak
melakukan tugas ini karena imbalannya sedikit tetapi saya melakukannya karena
saya menyukainya. Penghargaan yang rendah akan menjurus pada minat instrinsik
yang sangat besar akan suatu tugas karena orang tersebut mengatribusikan
pelaksanaan tugasnya tadi dengan minat instrinsik bukan dengan penghargaan
ekstrinsik.
c. Emosi
Tentang emosi para ahli menyatakan bahwa kita mengenal apa yang kita
rasakan dengan mempertimbangkan keadaan fisiologi kita sendiri, keadaan mental,
dan stimulus ekstern yang menyebabkan keadaan tersebut. Dua pendekatan tentang
persepsi diri berdasarkan emosi, Stanley schatcer dalam psikologi social
menyatakan bahwa:
a. Tingkat rangsangan fisiologis yang dialami
b. Cirri kognitif yang kita terapkan seperti
marah dan senang
Untuk sampai pada cirri kognitif, kita meninjau perilaku kita sendiri serta
situasinya. Jika secara fisiologis kita tertarik dan menertawakan pertunjukan
komedi TV, maka dapat disimpulkan bahwa kita senang, jika kita membentak
seseorang karena ulahnya maka dapat disimpulkan bahwa kita marah. Perilaku dan
interpretasi kita tentang keadaan akan melengkapi kita dengan cirri kognitif
yang memungkinkan kita untuk menginterpretasikan pengalamann intern kita
mengenai rangsangan emosi.[8]
10. Kesalahan Teori Atribusi
Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu menurut
Baron & Byrne (1994) dapat bersumber pada beberapa hal:
1. Kesalahan atribusi yang
mendasar (fundamental error): kecenderungan untuk selalu memberi
atribusi internal pada orang lain. Pada contoh mobil yang mengebel diatas, kita
selalu memberi atribusi internal pada dia (pemarah, tidak sabar, dll).
2. Efek Pelaku-Pengamat:
kecenderungan si pengamat untuk selalu memberi atribut internal pada orang lain
dan sebagai pelaku cenderung memberikan atribut eksternal. Pada contoh mobil
yang mengebel diatas, kita selalu memberi atribusi internal pada dia (pemarah,
tidak sabar, dll), sedangkan setelah kita tanya, dia membela diri dengan alasan
bermacam-macam, mungkin dengan alasan dia terburu-buru karena dia sedang
membawa istrinya yang sedang hamil ke RS, dll (atribusi eksternal).
3. Pengutamaan Diri
Sendiri: Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain. Saya pribadi, kadang melakukan hal yang sama dengan memencet
klakson bila kendaraan didepan lajunya lambat sekali padahal lampu lalu lintas
sudah berubah jadi hijau. Kita sering menyalahkan orang lain, tapi kadang kita
tidak sadar bahwa kita pernah bahkan sering melakukan hal yang sama dengan
orang yang kita salahkan.
Selain itu, sumber kesesatan dalam teori atribusi dalam memberikan
interpretasi seseorang diantaranya:
1. The fundamental attribution theory
Disebabkan orang sangat
menekankan pada factor internal dalam melihat perilaku seseorang. Orang akan
mudah mengambil kesimpulan dengan perilaku yang tampak sedangkan factor
eksternal tidak dihiraukan.
2. The actor observe effect
Orang melihat perilaku
orang lain karena factor dalam sedangkan dirinya sendiri disebabkan oleh factor
luar.[9]
Kesimpulan
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang
lain dengan melihat pada pola perilakunya yang tampak. Teori atribusi yang
berkembang pada tahun 60-70an, memandang individu sebagai psikolog amatir yang
mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai persitiwa yang
dihadapinya, ia mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan apa yang menyebabkan
ada, atau apa yang menyebabkan siapa melakukan apa. Respon yang kita berikan
pada suatu peristiwa bergantung interpretasi kita tentang peristiwa tersebut.
Atribusi ini merupakan hal yang penting dalam komunikasi, dikarenakan
manusia membutuhkan untuk membuat penjelasan mengapa hal itu terjadi, juga
digambarkan adanya hubungan antara keadaan psikologi dan tingkah laku individu.
Teori ini mempunyai tiga asumsi dasar yang dikemukakan oleh Kelleyy yaitu:
1. Orang mencoba mencari sebab-sebab dari
perilaku, mencari informasi untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan mengapa
dia melakukan itu.
2. Untuk menunjukkan sebab-sebab secara
sistematis
3. Atribusi telah mempengaruhi pemahaman
perasaan yang dimiliki dan terhadap perilakunya.
Secara garis besar ada dua atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan atribusi
kejujuran. Atribusi kausalitas mencoba memahami apa yang menyebabkan ia
berperilaku seperti itu, yang oleh heider bisa disebabkan oleh faktor
situasional dan faktor personal yang disebut juga kausalitas eksternal dan
kausalitas internal.
Teori atribusi ini dapat diterapkan pada persepsi diri sendiri maupun
terhadap orang lain. Artinya, prinsip serupa dapat digunakan untuk menyimpulkan
penyebab tindakan sendir dan bagaimana menyimpulkan penyebab tindakan orang
lain. Dengan memahami teori atribusi ini diharapkan hubungan interpersonal
dapat berlangsung lebih baik karena masing-maisng dapat memahami penyebab dari
perilaku seseorang mengapa dia berperilaku demikian.
Saran
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, baik dalam hal penulisan maupun penyajian materi yang disajikan
dalam bab pembahasan. Atas segala kekurangan penulis mohon maaf dan semoga
bahan makalah yang ada di tangan pembaca ini dapat memberikan manfaat dan
menambah wawasan keilmuwan mengenai Teori Atribusi khususnya dan Psikologi
Sosial pada umumnya. Wassalamu’alaikum.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal dakwah, Risalah, edisi VIII april 2003, Pekanbaru:
fakultas dakwah dan ilmu komunikasi IAIN SUSQA.
Harahap, Ginda, Ilmu Jiwa Social untuk Studi Ilmu Dakwah, Pekanbaru:
Suska Press, 2007.
[1] Jurnal dakwah, Risalah, edisi VIII april 2003,
Pekanbaru: fakultas dakwah dan ilmu komunikasi IAIN SUSQA, Hlm. 38
[2] Ginda Harahap, ilmu jiwa social untuk studi ilmu
dakwah, Pekanbaru: Suska Press, 2007, Hlm. 28-29.
[3] Jurnal dakwah, Risalah, edisi VIII april 2003.
Hlm. 40
[5] Jurnal dakwah, Risalah, edisi VIII april 2003,
Hlm.41
[7] Jurnal dakwah, Risalah, edisi VIII april 2003,
hlm. 46-47
[9] Ginda Harahap, ilmu jiwa social untuk studi ilmu
dakwah, hlm. 31.
Komentar
Posting Komentar