![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEZ5Gjobl407d9Voej4IDG3VzLoR2zZTR5rbVejqFnq2Gx9729SlVKulgzbjMhZxSLdOxQqkrb22gVCK0OifI6PFNFzpuLjuHDBmBrK2SNLXTum372gKRv3FtL19fwYTGGn67Y_kl0SGxh/s320/pmii.jpg) |
Kajur, Dosen, & mahasiswa Pengembangan Masyarakat saat kunjungan ke UED SP |
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana berdakwah atau
mensosialisasikan ajaran islam kepada objek dakwah dengan berbagai pendekatan
agar nilai ajaran islam dapat terealisasikan dalam kehidupan dengan tujuan agar
mendapat ridho Allah SWT agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan pengertian demikian maka ilmu dakwah lebih dekat dan serumpun dengan
ilmu social, hal ini dikarenakan teori dakwah yang hendak dibangun merupakan
produk generalisasi dari fenomena social.
Dengan demikian, dengan sendirinya ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu
social yang dirumuskan dan dikembangkan dengan mengikuti norma-norma ilmiah
dari ilmu social secara empiris, sistematis, dan logis. Dakwah dibagi menjadi
tiga pola, yaitu:
a. Dakwah cultural
Dakwah cultural adalah
aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan islam cultural yaitu salah satu
pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara
islam dan Negara. Dakwah cultural merupakan dakwah yang mendekati objek dakwah dengan
memperhatikan aspek social budaya yang berlaku pada masyarakat.
b. Dakwah politik
Dakwah politik adalah
gerakan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan kekuasaan, aktivis dakwah
bergerak mendakwahkan ajaran islam supaya islam dapat dijadikan ideology
Negara, atau paling tidak setiap kebijakan pemerintah atau Negara selalu
diwarnai dengan nilai-nilai ajaran islam sehingga ajaran islam melandasi
kehidupan politik bangsa. Dakwah politik sesungguhnya adalah aktivitas islam
yang berusaha mewujudkan bangsa dan Negara yang berdasarkan atas ajaran islam,
para pelaku politik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman serta penegakan
ajaran islam menjadi tanggung jawab Negara dan pemerintah. Dalam perspektif
dakwah politik, Negara adalah instrument yang paling penting dalam aktivitas
mewujudkan Negara berdasarkan ajaran islam.
c. Dakwah ekonomi
Dakwah ekonomi adalah
aktivitas dakwah umat islam yang berusaha mengimplementasikan ajaran islam yang
berhubungan dengan proses ekonomi guna peningkatan kesejahteraan umat islam.[1]
B. Sosiologi Pembangunan
Sosiologi pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur social, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar
akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta
pengentasan kemiskinan.[2]
Beberapa unsur sosiologi pembangunan adalah:
1. Meneliti unsur yang menyebabkan dan yang mempercepat pembangunan serta
dampak pembangunan itu sendiri
2. Mengidentifikasi dan meneliti sel-sel aktif yang ada di dalam masyarakat
yang dapat mempercepat pembangunan
3. Meneliti agent of change setempat yang mampu dan yang telah mengadakan atau
masih dalam menjalankan pembangunan.
C. Hubungan Sosiologi
Pembangunan dengan Ilmu Dakwah dan Peran Agama terhadap Pembangunan
Dapat ditarik benang merah antara ilmu dakwah dengan sosiologi pembangunan,
yakni keduanya sama-sama merupakan ilmu social yang berhubungan dengan
masyarakat.
Dalam hal agama, sangat diakui bahwa di sebuah daerah yang maju agama
biasanya tidak lagi menjadi hal yang signifikan. Masyarakat maju, menurut
Hendro Puspito cenderung menganggap dunia sebagai masalah yang sama sekali
tidak memiliki hubungan dengan agama. Pada konteks ini sebenarnya mereka telah
tertarik dengan konsep sekulerisasi ekstrem.
Fenomena yang sekarang terjadi adalah agama cenderung dianggap
sebagai chaos bagi kehidupan social. Ia menjadi unsur pemecah
belah bukan unsure perekat dan pemersatu. Agama harus dijadikan sebagai dasar
pertimbangan pembangunan dan pengembangan masyarakat, sehingga muncul konsep
pembangunan yang memandang penting aspek fisik dan non fisik termasuk
nilai-nilai agama. [3]
a. Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah:
1. Sebagai etos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika
diyakini atau dihayati mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya, nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoaman tingkah
laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya.
Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya,
selalu giat dalam menerapakn perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi
maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku dan sikap yang demikian
tercermin suatu pola tingkah laku yang etis. Penerapan agama lebih menjurus
keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain.
2. Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang
atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan
ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu
kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan
ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa imbalan
material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih
didambakan oleh penganut agama yang taat.
Peranan-peranan positif ini telah telah mebuahkan hasil yang konkrit dalam
pembangunan, baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.Melalui
motiasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi
maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan asset yang
potensial dalam pembangunan.
Peranan-peranan positif ini telah membuahkan hasil yang konkrit dalam
pembangunan baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan. Sumbangan
harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran
keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, mislanya:
1. Hibah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah, atau pun
lembaga pendidikan.
2. Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah ibadah,
rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya.
3. Pengarahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina
kegotong royongan.
Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
karena agama itu sendiri diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1. Berfungsi edukatif
Para penganut agama
berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran yang harus
dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua
unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan
agar pribadi penganutnya menjadi lebih baik dan terbiasa dengan yang baik
menurut ajaran agama masing-masing.
2. Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang
meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama.
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan
yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.
3. Berfungsi sebagai
pendamai
Melalui agama seseorang
yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan
agama. Rasa berdosa dan dan bersalah akan segera hilang dari batinnya jika
seseorang pelanggar telah hmenebus dosanya melalui tobat, pensucian, dan
penebusan dosa.
4. Berfungsi sebagai social
control
Para penganut agama
sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntutan ajaran
tersebut, bak secara pribadi maupun kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya
dianggap sebagai norma sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai
pengawas social secara individu dan kelompok.
5. Berfungsi sebagai
pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama
secara psikologis akan m erasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan yaitu iman
dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok
maupun perorangan bahkan kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.
Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa
kebangsaan.
6. Berfungsi transformative
Ajaran agama dapat
merubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya
berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah
kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.
7. Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong
dan mengajak para pengautnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk
kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut
agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola iduup yang sama, akan
tetapi juga dituntut untuk melakukan invasi dan penemuan baru.
8. Berfungsi sublimatif
Ajaran agama
mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yang bersifat ukhwari melainkan
juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan
dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus karena Allah dan
untuk Allah merupakan ibadah.[4]
Ada dua aspek dalam pembangunan, yaitu partisipasi dan dinamisme.
Aspek yang pertama adalah menyangkut potensi dan kondisi manusia dalam
menghadapi atau melakukan interaksi dengan lingkungan kehidupannya yaitu antara
lain berupa sumber daya alam yang terbatas. Dengan kata lain, aspek ini
bertalian denga sikap pokok manusia terhadap diri mereka sendiri dan terhadap
dunia sekeliling mereka. Inilah yang dinamakan oleh Geetz sebagai semangat atau
etos. Aspek yang ke dua berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diliputi oleh
keinginan atau nafsu yang sulit dikuasai tetapi perlu dikendalikan dan bahwa
manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas.
Menghadapi kenyataan bahwa sumber daya alam yang terbatas maka akan
menimbulkan berkecenderungan mendahulukan kepentingan pribadinya dan bahkan
sering kali tidak mau mempedulikan kepentingan lingkungan dan masyarakat
sekitarnya. Oleh karena itu, maka setiap usaha meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan serta ketentraman hidup hidup anggota masyarakat memerlukan system
nilai social. Dua aspek pembangunan di atas yaitu etos kerja dan moral
pembangunan dapat kita lihat sebagaimana dua sisi mata uang yang saling
melengkapi dan member makna dalam system nilai ajaran agama islam.
Ada satu teori yang menjelaskan tentang adanya hubungan langsung
(fungsional) antara system nilai suatu ajaran agama dengan kegairahan bekerja
pada para pemeluk agama tersebut. Yaitu teori yang dikemukakan oleh Max Weber.
Terlepas dari kontroversi teori tersebut maka dari kerangka pemikiran itu
dapatlah dikatakan bahwa ketakwaan dan kesholehan dalam menganut ajaran islam
secara kaffah dalam kondisi tertentu akan mendinamiskan dan memacu serta
mengagresifkan pemeluk islam untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan
secara konsisten dan sistematis.
Menurut kerangka pemikiran weber, motivasi kegiatan ekonomi sering terdapat
pada kelompok tertentu pemeluk suatu agama, yakni bersumber pada keyakinan
pemeluk tersebut bahwa kehidupan mereka telah ditentukan oleh takdir Allah
kepada orang-orang yang telah dipilih. Karena mereka tidak mengetahui apakah
mereka adalah orang yang terpilih maka kehiduan mereka di dunia terusu
dikungkung oleh rasa ketidakpastian secara menerus-menerus. Namun adalah
kewajiban mereka, kata weber, untuk beranggapan sebagai orang yang terpilih dan
menyingkirkan keraguan. Untuk kepercayaan itulah maka orang harus bekerja
keras. Inilah yang disebutnya dengan Innerwordly ascesticism yakni
kesungguhan berbakti kepada Allah yang diwujudkan dengan kerja keras.
Di dalam kerangka nilai islam, maka konsep takdir ini disebutkan bahwa
Allah SWT memang telah menetapkan suratan kepada setiap manusa di kemudian
hari. Namun suratan takdir itu sendiri pada hakikatnya adalah bergantung kepada
usaha dan tingkah laku manusia itu di dunia. Sikap manusia dan juga perilakunya
di dalam konteks islam dengan demikian merupakan sesuatu yang memberikan
dimensi tertentu akan suratan takdirNya.
Di dalam konteks islam maka konsep Innerwordly ascesticism itu
terletak bukan pada “panggilan” untuk menjadi manusia terpilih, namun terletak
pada kemutlakan islami pada setiap orang muslim untuk melaksanakan kewajiban
pada segi ibadah, dan segi muamalah secra simultan, dan bahwa hanya “kepada
mereka yang bekerja akan diberikan imbalan dunianya”. Maka laksanakanlah islam
secara total, secara menyeluruh, komprehensif, secara paripurna dan secara
kaffah.
Dengan mengetengahkan beberapa dimensi dari system nilai islam maka dapat
ditegaska bahwa ajaran islam memeberikan kondisi spiritual kepada umat islam
untuk melakukan sesuatu aktivitas keduniaan yang bermakna yakni kegiatan
keduniaan yang beraspek religious dan bahwa ajaran islam merupakan sumber
aktivitas untuk berlangsungnya transformasi structural dan memebrikanbentuk
kepada system perilaku anggota masyarakat yang berkaitan dengan fenomena social
ekonomi masyarakatnya.
Dalam perkembangan perjalanan masyarakat Indonesia, aktualisasi nilai-nilai
islam berlangsung mengikuti irama berbagai macam system nilai kebudayaan local
yang pluralis, yang masing-masing membentuk system struktur masyarakat yang
berbeda. Tapi system nilai dan corak struktur social,keduanya memepengaruhi
anggota masyarakat dalam memahami ajaran islam.
Karena itu, perbedaan aktualisasi ajaran islam dalam benuk kerja dan
kegiatan ekonomi dapat terlihat dari kegiatan anggota masyarakat yang
anggotanya menganut islam dengan system local yang berbeda-beda. Dengan
demikian maka hal penting yang bisa ditekankan dalam masalah ini ialah factor
structural yang mempengaruhi aktualisasi tersebut.
Clifford Geertz melakukan pembagian golongan muslim di jawa menjadi dua
bagian yaitu golongan islam santri dan islam abangan. Golongan islam abangan
yang terletak di daerah selatan pulau jawa diindikasikan memiliki semangat
kompetensi yang rendah, hal ini mengacu pada pemahaman bahwa islam abangan
merupakan golongan yang mempraktekkan ajaran islam kurang puritan dan kurang
intensif karena dipengaruhi oleh nilai cultural setempat dan terpengaruh ajaran
agama lain.
Di beberapa daerah yang merupakan daerah agraris dan hidup dalam system
nilai “santri” banyak menunjukkan potensi entrepreneur sejak sebelum kemerdekaan.
Ada dua macam pemeliharaan etos kerja dengan motivasi agama, pertama,
memperkuat built-in mechanism ketaatan dan ketakwaan beragama, dan kedua,
penyediaan sarana dan prasarana penciptaan lingkungan yang agamis kpeda
kelompok masyarakat ini yang antara lain menjadi homogenitas kehidupan
bermasyarakat mereka.
Diantara beberapa dasar moral pembangunan yang relevan di dalam islam
adalah keseimbangan antara pembinaan aspek ibadah (dalam arti sempit) dengan
aspek keduniaan. Konsep ini bersumber dari perintah islam bahwa segala kegiatan
manusia ditujukan ke satu arah yaitu mendapatkan Ridho Allah.
Dari sinilah kemudian terdapat beberapa dasar moralitas untuk melakukan
kegiatan dalam masyarakat yang sebagian sesuai dengan prinsip pembangunan
kapitalis dan sebagian identik dengan sosialis. Karena itu adanya kemakmuran
yang relative merata merupakan prinsip lain dari setiap gerak pembangunan.
Dengan kata lain, maka prinsip pembangunan dalam islam sebenarnya merupakan
satu konsep ekonomi politik yang menyangkut secara total interaksi antara
kegiatan ekonomi dengan yang non ekonomi.[5]
Dalam Al Quran Allah berfirman:
Dan bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga
Rasulnya dan orang-orang mukmin dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakannya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan. (At Taubah: 105)
Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah : “Bekerjalah
Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat,
baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”,
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan
memberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran
adalah imbalan atau upah atau compensation.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk
bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang
paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat
bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar,
Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu
benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik
dari apa yang kita kerjakan.
DAFTAR PUSTAKA
Saputra, Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali
Press, 2011.
Masduki, Urgensi Agama dalam Pengembangan Masyarakat, Jurnal
Dakwah Risalah, Edisi IX Sep. 2005, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
SUSKA Riau.
DR. Jalaluddin, DR. Ramayulis, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam
Mulia, 1993.
Rais, M. Amien, Islam di Indonesia sebuah ikhtiar mengaca diri,
Jakarta: Rajawali, 1986.
[1] Drs. Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu
Dakwah, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Hlm. 3-6.
[3]Masduki, Urgensi Agama dalam Pengembangan
Masyarakat, Jurnal Dakwah Risalah, Edisi IX Sep. 2005, Fakultas Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau. Hlm. 58-65.
[4] DR. Jalaluddin, DR. Ramayulis, Ilmu Jiwa
Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993. Hlm. 125-129.
[5] M. Amien Rais, Islam di Indonesia sebuah
ikhtiar mengaca diri, Jakarta: Rajawali, 1986, Hlm. 109-123.
Komentar
Posting Komentar