Langsung ke konten utama

Unggulan

Rubrik Rumah Tangga: Cinta Kedaluarsa

Seiring berjalannya waktu cinta dalam rumah tangga mengalami pasang surut. Belasan tahun menjalani pernikahan pasti banyak yang telah berubah. Begitu juga dengan pasangan kita. Pak cah (cahyadi takariawan) mengatakan bahwa pasangan kita layaknya mikroorganisme yang terus berubah, terus berkembang seiring berjalannya waktu. Jika karena fisiknya yang telah berubah engkau meninggalkannya, sungguh begitu dangkal cintamu Jika karena emosinya yang meledak-ledak engkau meninggalkannya cintamu begitu murah Jika karena sifatnya yang menjengkelkan engkau meninggalkannya, cintamu   pun begitu receh Jika engkau menganggap pasanganmu kini tidak bisa menyamaimu atau merasa sudah tidak sebanding lagi maka perlu dipertanyakan niat awalmu menikah Jika engkau suka membandingkan pasanganmu dengan pasangan orang lain yang bisa begini dan begitu mungkin engkau juga pantas dibandingkan dengan yang lain juga Jika engkau merasa tidak puas dengan pasanganmu coba tanyakan juga apakah pasanganm...

HUBUNGAN SOSIOLOGI PEMBANGUNAN DENGAN ILMU DAKWAH DAN PERAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN


 
Kajur, Dosen, & mahasiswa Pengembangan Masyarakat  saat kunjungan ke UED SP 
   A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Dakwah

Ilmu dakwah adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana berdakwah atau mensosialisasikan ajaran islam kepada objek dakwah dengan berbagai pendekatan agar nilai ajaran islam dapat terealisasikan dalam kehidupan dengan tujuan agar mendapat ridho Allah SWT agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dengan pengertian demikian maka ilmu dakwah lebih dekat dan serumpun dengan ilmu social, hal ini dikarenakan teori dakwah yang hendak dibangun merupakan produk generalisasi dari fenomena social.

Dengan demikian, dengan sendirinya ilmu dakwah merupakan bagian dari ilmu social yang dirumuskan dan dikembangkan dengan mengikuti norma-norma ilmiah dari ilmu social secara empiris, sistematis, dan logis. Dakwah dibagi menjadi tiga pola, yaitu:

     a.   Dakwah cultural
Dakwah cultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan islam cultural yaitu salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara islam dan Negara. Dakwah cultural merupakan dakwah yang mendekati objek dakwah dengan memperhatikan aspek social budaya yang berlaku pada masyarakat.

     b.   Dakwah politik
Dakwah politik adalah gerakan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan kekuasaan, aktivis dakwah bergerak mendakwahkan ajaran islam supaya islam dapat dijadikan ideology Negara, atau paling tidak setiap kebijakan pemerintah atau Negara selalu diwarnai dengan nilai-nilai ajaran islam sehingga ajaran islam melandasi kehidupan politik bangsa. Dakwah politik sesungguhnya adalah aktivitas islam yang berusaha mewujudkan bangsa dan Negara yang berdasarkan atas ajaran islam, para pelaku politik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman serta penegakan ajaran islam menjadi tanggung jawab Negara dan pemerintah. Dalam perspektif dakwah politik, Negara adalah instrument yang paling penting dalam aktivitas mewujudkan Negara berdasarkan ajaran islam.

     c.    Dakwah ekonomi
Dakwah ekonomi adalah aktivitas dakwah umat islam yang berusaha mengimplementasikan ajaran islam yang berhubungan dengan proses ekonomi guna peningkatan kesejahteraan umat islam.[1]

B.   Sosiologi Pembangunan
Sosiologi pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur social, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.[2]

Beberapa unsur sosiologi pembangunan adalah:
1.  Meneliti unsur yang menyebabkan dan yang mempercepat pembangunan serta dampak pembangunan itu sendiri
2. Mengidentifikasi dan meneliti sel-sel aktif yang ada di dalam masyarakat yang dapat mempercepat pembangunan
3.  Meneliti agent of change setempat yang mampu dan yang telah mengadakan atau masih dalam menjalankan pembangunan.


C.    Hubungan Sosiologi Pembangunan dengan Ilmu Dakwah dan Peran Agama terhadap Pembangunan 

Dapat ditarik benang merah antara ilmu dakwah dengan sosiologi pembangunan, yakni keduanya sama-sama merupakan ilmu social yang berhubungan dengan masyarakat.

Dalam hal agama, sangat diakui bahwa di sebuah daerah yang maju agama biasanya tidak lagi menjadi hal yang signifikan. Masyarakat maju, menurut Hendro Puspito cenderung menganggap dunia sebagai masalah yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan agama. Pada konteks ini sebenarnya mereka telah tertarik dengan konsep sekulerisasi ekstrem.

Fenomena yang sekarang terjadi adalah agama cenderung dianggap sebagai chaos bagi kehidupan social. Ia menjadi unsur pemecah belah bukan unsure perekat dan pemersatu. Agama harus dijadikan sebagai dasar pertimbangan pembangunan dan pengembangan masyarakat, sehingga muncul konsep pembangunan yang memandang penting aspek fisik dan non fisik termasuk nilai-nilai agama. [3]

a.       Peranan Agama Dalam Pembangunan
Prof. Dr. Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam  pembangunan adalah:

1.   Sebagai etos pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini atau dihayati mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap. Selanjutnya, nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoaman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya.

Segala bentuk perbuatan yang dilarang agama dijauhinya dan sebaliknya, selalu giat dalam menerapakn perintah agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun demi kepentingan orang banyak. Dari tingkah laku dan sikap yang demikian tercermin suatu pola tingkah laku yang etis. Penerapan agama lebih menjurus keperbuatan yang bernilai akhlak mulia dan bukan untuk kepentingan lain.

2.   Sebagai motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengamalan ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.  

Keyakinan akan balasan tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk beebuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat.

Peranan-peranan positif ini telah telah mebuahkan hasil yang konkrit dalam pembangunan, baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan.Melalui motiasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan asset yang potensial dalam pembangunan.

Peranan-peranan positif ini telah membuahkan hasil yang konkrit dalam pembangunan baik berupa sarana maupun prasarana yang dibutuhkan. Sumbangan harta benda dan milik untuk kepentingan masyarakat yang berlandaskan ganjaran keagamaan telah banyak dinikmati dalam pembangunan, mislanya:
1. Hibah dan wakaf tanah untuk pembangunan jalan, sarana ibadah, atau pun lembaga pendidikan.
2. Dana yang terpakai untuk pembangunan lembaga pendidikan dan rumah ibadah, rumah sakit, panti asuhan, dan sebagainya.
3.  Pengarahan tenaga yang terkoordinasi oleh pemuka agama dalam membina kegotong royongan.

Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena agama itu sendiri diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:

    1.   Berfungsi edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi lebih baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

     2.   Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.

     3.   Berfungsi sebagai pendamai
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan dan bersalah akan segera hilang dari batinnya jika seseorang pelanggar telah hmenebus dosanya melalui tobat, pensucian, dan penebusan dosa.

     4.   Berfungsi sebagai social control
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntutan ajaran tersebut, bak secara pribadi maupun kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas social secara individu dan kelompok.

     5.   Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama secara psikologis akan m erasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan yaitu iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan bahkan kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.

     6.   Berfungsi transformative
Ajaran agama dapat merubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluknya itu kadangkala mampu mengubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelum itu.

     7.   Berfungsi kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para pengautnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola iduup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan invasi dan penemuan baru.

     8.   Berfungsi sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yang bersifat ukhwari melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus karena Allah dan untuk Allah merupakan ibadah.[4]

Ada dua aspek dalam pembangunan,  yaitu partisipasi dan dinamisme. Aspek yang pertama adalah menyangkut potensi dan kondisi manusia dalam menghadapi atau melakukan interaksi dengan lingkungan kehidupannya yaitu antara lain berupa sumber daya alam yang terbatas. Dengan kata lain, aspek ini bertalian denga sikap pokok manusia terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia sekeliling mereka. Inilah yang dinamakan oleh Geetz sebagai semangat atau etos. Aspek yang ke dua berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diliputi oleh keinginan atau nafsu yang sulit dikuasai tetapi perlu dikendalikan dan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas.

Menghadapi kenyataan bahwa sumber daya alam yang terbatas maka akan menimbulkan berkecenderungan mendahulukan kepentingan pribadinya dan bahkan sering kali tidak mau mempedulikan kepentingan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, maka setiap usaha meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan serta ketentraman hidup hidup anggota masyarakat memerlukan system nilai social. Dua aspek pembangunan di atas yaitu etos kerja dan moral pembangunan dapat kita lihat sebagaimana dua sisi mata uang yang saling melengkapi dan member makna dalam system nilai ajaran agama islam.

Ada satu teori yang menjelaskan tentang adanya hubungan langsung (fungsional) antara system nilai suatu ajaran agama dengan kegairahan bekerja pada para pemeluk agama tersebut. Yaitu teori yang dikemukakan oleh Max Weber. Terlepas dari kontroversi teori tersebut maka dari kerangka pemikiran itu dapatlah dikatakan bahwa ketakwaan dan kesholehan dalam menganut ajaran islam secara kaffah dalam kondisi tertentu akan mendinamiskan dan memacu serta mengagresifkan pemeluk islam untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan secara konsisten dan sistematis.

Menurut kerangka pemikiran weber, motivasi kegiatan ekonomi sering terdapat pada kelompok tertentu pemeluk suatu agama, yakni bersumber pada keyakinan pemeluk tersebut bahwa kehidupan mereka telah ditentukan oleh takdir Allah kepada orang-orang yang telah dipilih. Karena mereka tidak mengetahui apakah mereka adalah orang yang terpilih maka kehiduan mereka di dunia terusu dikungkung oleh rasa ketidakpastian secara menerus-menerus. Namun adalah kewajiban mereka, kata weber, untuk beranggapan sebagai orang yang terpilih dan menyingkirkan keraguan. Untuk kepercayaan itulah maka orang harus bekerja keras. Inilah yang disebutnya dengan Innerwordly ascesticism yakni kesungguhan berbakti kepada Allah yang diwujudkan dengan kerja keras.

Di dalam kerangka nilai islam, maka konsep takdir ini disebutkan bahwa Allah SWT memang telah menetapkan suratan kepada setiap manusa di kemudian hari. Namun suratan takdir itu sendiri pada hakikatnya adalah bergantung kepada usaha dan tingkah laku manusia itu di dunia. Sikap manusia dan juga perilakunya di dalam konteks islam dengan demikian merupakan sesuatu yang memberikan dimensi tertentu akan suratan takdirNya.

Di dalam konteks islam maka konsep Innerwordly ascesticism itu terletak bukan pada “panggilan” untuk menjadi manusia terpilih, namun terletak pada kemutlakan islami pada setiap orang muslim untuk melaksanakan kewajiban pada segi ibadah, dan segi muamalah secra simultan, dan bahwa hanya “kepada mereka yang bekerja akan diberikan imbalan dunianya”. Maka laksanakanlah islam secara total, secara menyeluruh, komprehensif, secara paripurna dan secara kaffah.

Dengan mengetengahkan beberapa dimensi dari system nilai islam maka dapat ditegaska bahwa ajaran islam memeberikan kondisi spiritual kepada umat islam untuk melakukan sesuatu aktivitas keduniaan yang bermakna yakni kegiatan keduniaan yang beraspek religious dan bahwa ajaran islam merupakan sumber aktivitas untuk berlangsungnya transformasi structural dan memebrikanbentuk kepada system perilaku anggota masyarakat yang berkaitan dengan fenomena social ekonomi masyarakatnya.

Dalam perkembangan perjalanan masyarakat Indonesia, aktualisasi nilai-nilai islam berlangsung mengikuti irama berbagai macam system nilai kebudayaan local yang pluralis, yang masing-masing membentuk system struktur masyarakat yang berbeda. Tapi system nilai dan corak struktur social,keduanya memepengaruhi anggota masyarakat dalam memahami ajaran islam.

Karena itu, perbedaan aktualisasi ajaran islam dalam benuk kerja dan kegiatan ekonomi dapat terlihat dari kegiatan anggota masyarakat yang anggotanya menganut islam dengan system local yang berbeda-beda. Dengan demikian maka hal penting yang bisa ditekankan dalam masalah ini ialah factor structural yang mempengaruhi aktualisasi tersebut.

Clifford Geertz melakukan pembagian golongan muslim di jawa menjadi dua bagian yaitu golongan islam santri dan islam abangan. Golongan islam abangan yang terletak di daerah selatan pulau jawa diindikasikan memiliki semangat kompetensi yang rendah, hal ini mengacu pada pemahaman bahwa islam abangan merupakan golongan yang mempraktekkan ajaran islam kurang puritan dan kurang intensif karena dipengaruhi oleh nilai cultural setempat dan terpengaruh ajaran agama lain.

Di beberapa daerah yang merupakan daerah agraris dan hidup dalam system nilai “santri” banyak menunjukkan potensi entrepreneur sejak sebelum kemerdekaan. Ada dua macam pemeliharaan etos kerja dengan motivasi agama, pertama, memperkuat built-in mechanism ketaatan dan ketakwaan beragama, dan kedua, penyediaan sarana dan prasarana penciptaan lingkungan yang agamis kpeda kelompok masyarakat ini yang antara lain menjadi homogenitas kehidupan bermasyarakat mereka.

Diantara beberapa dasar moral pembangunan yang relevan di dalam islam adalah keseimbangan antara pembinaan aspek ibadah (dalam arti sempit) dengan aspek keduniaan. Konsep ini bersumber dari perintah islam bahwa segala kegiatan manusia ditujukan ke satu arah yaitu mendapatkan Ridho Allah.

Dari sinilah kemudian terdapat beberapa dasar moralitas untuk melakukan kegiatan dalam masyarakat yang sebagian sesuai dengan prinsip pembangunan kapitalis dan sebagian identik dengan sosialis. Karena itu adanya kemakmuran yang relative merata merupakan prinsip lain dari setiap gerak pembangunan. Dengan kata lain, maka prinsip pembangunan dalam islam sebenarnya merupakan satu konsep ekonomi politik yang menyangkut secara total interaksi antara kegiatan ekonomi dengan yang non ekonomi.[5]
Dalam Al Quran Allah berfirman:
Dan bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasulnya dan orang-orang mukmin dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (At Taubah: 105) 

Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah  : “Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”,  Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation. 

Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.


DAFTAR PUSTAKA
Saputra, Wahidin, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Masduki, Urgensi Agama dalam Pengembangan Masyarakat, Jurnal Dakwah Risalah, Edisi IX Sep. 2005, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau.
DR. Jalaluddin, DR. Ramayulis, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993.
Rais, M. Amien, Islam di Indonesia sebuah ikhtiar mengaca diri, Jakarta: Rajawali, 1986.



[1] Drs. Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Hlm. 3-6.
[3]Masduki, Urgensi Agama dalam Pengembangan Masyarakat, Jurnal Dakwah Risalah, Edisi IX Sep. 2005, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN SUSKA Riau. Hlm. 58-65.  
[4] DR. Jalaluddin, DR. Ramayulis, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993. Hlm. 125-129.
[5] M. Amien Rais, Islam di Indonesia sebuah ikhtiar mengaca diri, Jakarta: Rajawali, 1986, Hlm. 109-123.


Komentar

Postingan Populer